MEMBANGKITKAN ALAM RISET ISLAM DARI TINGKAT SEKOLAH

SENJAKALA DUNIA RISET PERADABAN ISLAM DAN UPAYA MEMBANGUNKANNYA DI TINGKAT SEKOLAH

Sebuah Catatan Pasca Pendampingan Peserta Didik SMA Al Fityan School Tangerang ke Lomba Peneliti Belia (LPB) Banten UMN 2022

Kurnia Gusti Sawiji

            Perumpamaan yang mungkin tepat untuk menggambarkan bagaimana peradaban barat modern menghadapi ilmu pengetahuan yang berkembang sekarang adalah seperti seorang anak kecil yang memegang krayon dengan kertas kosong di hadapannya. Sementara perumpamaan yang mungkin tepat untuk menggambarkan bagaimana peradaban Islam menghadapi ilmu pengetahuan yang berkembang sekarang adalah seperti seorang kakek yang melihat piala-piala yang dipajangnya di ruang tamu.

Barat modern dan peradaban Islam di abad pertengahan memiliki pandangan yang sangat berseberangan dalam melihat relasi di antara agama dan sains. Barat menganggap sains sebagai fondasi dunia yang membuka pintu seribu kebarangkalian dan mendiskreditkan agama sebagai produk fiktif yang menghalangi sains, sementara peradaban Islam meyakini bahwa dasar dari sains adalah agama. Hal ini dinyatakan dalam Oxford Dictionary of Middle Ages, yang mana di dalamnya tertulis bahwa “Ayat-ayat dalam Al-Qur’an mengandung berbagai interpretasi yang dapat menjadi inspirasi para cendekiawan Muslim merangkai berbagai fondasi keilmuan di abad pertengahan.”

Tetapi mari kita mengalihkan pandangan dari piala-piala yang berdiri megah di ruang tamu dan menyadari sebuah keadaan: masa kegemilangan Islam seperti sebuah kereta api yang meninggalkan stasiun, sementara kita adalah orang-orang yang bersedih karena tertinggal di peron. Apakah itu merupakan satu lagi konspirasi barat dalam menjatuhkan Islam, atau jangan-jangan ada yang kita lupakan?

 

Melihat ke Luar Jendela

Tidak salah jika kita mencoba menggunakan hadiah Nobel, penghargaan paling bergengsi tingkat dunia di berbagai bidang termasuk sains sebagai tolok ukur. Setakat 2018, hanya ada tiga muslim yang menerima penghargaan tersebut di bidang sains. Jumlah itu tidak bertambah sampai sekarang.

Mengutip Martin Kramer, seorang sejarawan dari Amerika Serikat, Mustafa Aykol, seorang jurnalis dari Turki mengungkapkan bahwa, “Andai saja hadiah Nobel mulai diadakan pada tahun 1000 Masehi, mayoritas penghargaan tersebut akan diterima oleh orang-orang Islam.” Pernyataan itu wajar, melihat banyaknya raksasa ilmu peradaban Islam abad pertengahan di bidang masing-masing: Ibn Al-Haytham di bidang geometri optika, Ibn Sina di bidang kesehatan, atau Ibn Rushd di bidang falsafah.

Lebih lanjut lagi, Aykol berpendapat bahwa penurunan signifikan pada perkembangan dunia riset dan keilmiahan di peradaban Islam adalah dikarenakan adanya perubahan poros perdagangan yang menjauhi Timur Tengah. Yasir bil-Qawdhi, seorang cendekiawan dari Al-Maghrib Institute berasumsi bahwa perihal tersebut dimulai dari dilarangnya percetakan dan penerbitan yang dianggap sebagai haram dan bid’ah (pelanggaran terhadap tradisi keislaman) pada masa kekaisaran Ottoman.

Faktor-faktor ini, menurut Aykol, merupakan awal dari perubahan pola pikir peradaban Islam; jika pada awalnya para cendekiawan abad pertengahan lebih terbuka terhadap pemikiran luar (Ibn Rushd bahkan mempelajari teori Ptolemy, seorang filsuf Romawi tentang sistem semesta hanya untuk kemudian membantahnya dan membuat sistemnya sendiri), peradaban Islam mulai menutup diri terhadap pemikiran luar dengan menganggapnya sebagai mudharat.

Sehingga mau tidak mau perlu kita akui bahwa senjakala dunia riset dan keilmiahan peradaban Islam modern memiliki faktor internal; adanya pola pikir dari kita sendiri yang menyatakan bahwa perkembangan sains akan berujung kemudharatan, apatah lagi jika didasari pada hukum-hukum yang dikeluarkan oleh peradaban barat. Perubahan pola pikir turun-temurun ini menjadi sulit diubah dengan adanya kolonialisme barat, dan upaya untuk meluruskannya kembali perlu dilakukan pada tingkatnya yang paling asas.

 

Bermain Pesan Berantai

Islam adalah laut yang pasang dan surut dalam instabilitas dunia secara umum. Namun dunia berubah; arus informasi semakin kencang, begitu juga dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Hal ini membuat nilai-nilai yang menguat pasca tenggelamnya kegemilangan peradaban Islam menjadi layak untuk diargumentasikan kembali. Mata kita pun melihat ke dua zaman; dan sembari itu, kita menuliskan sebuah pesan berantai yang akan digiring ke generasi Islami di masa depan.

Pendidikan pada dasarnya adalah pesan berantai. Ilmu sebagaimana yang diajarkan di sekolah dan lembaga pendidikan yang terstruktur merupakan upaya manusia untuk menyusun abstrak-abstrak yang disediakan oleh alam semesta. Tidakkah sia-sia jika kita mengungkung pesan berantai itu hanya kepada nilai-nilai yang sebatas memenuhi tuntutan birokrasi, tanpa mengindahkan semangat perkembangan itu sendiri?

Sekolah-sekolah Islam misalnya, memiliki potensi terbesar dalam menjadi penggerak dalam membangunkan dunia riset keislaman dari senjakalanya. Hal ini dikarenakan kita sepatutnya memiliki keleluasaan yang lebih besar dalam mengelola sumber daya untuk kemaslahatan ummat. Ironisnya, yang lebih dulu dalam mempratikkan asumsi tersebut malahan sekolah-sekolah berbasis Kristen; sebut saja Binus, Santa Laurensia, atau Tarakanita yang acapkali timbul ke permukaan sebagai sekolah berbasis riset.

Jika mendalami Al-Qur’an dan Hadits guna mempertebal aqidah dan fiqh merupakan perisai untuk membangun generasi Islami yang mampu membendung tantangan zaman, maka menginternalisasi Al-Qur’an dan Hadits dalam pendidikan berbasis riset merupakan pedang yang akan menjadi senjata mereka bertempur di kancah keilmuan di taraf dunia. Tentu, idealisme tersebut tidak akan efektif jika hanya direalisasikan di atas kertas demi ketercapaian administratif; perlu ada perombakan sistem, dukungan materi maupun moral, dan motivasi perubahan pola pikir yang tidak saja meliputi para peserta didik, tetapi juga penyelenggara lembaga pendidikan.

Pencapaian empat peserta didik SMA Al Fityan School Tangerang dalam kancah pertarungan ilmiah di Lomba Peneliti Belia (LPB) Banten 2022 yang diselenggarakan Universitas Multimedia Nasional (UMN) merupakan bukti nyata; dengan adanya koordinasi, dukungan, dan strategi yang mumpuni, dunia riset Islam dapat dibangkitkan walaupun dalam skala antar sekolah. Prestasi tersebut juga menjadi satu lagi pesan yang perlu dikirim secara berantai: bahwa bangkitnya pergerakan Islam merupakan usaha kolektif dari segala pihak, dari peserta didik sampai penyelenggara lembaga pendidikan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *